Menjadi
mahasiswa fakultas kedokteran adalah suatu kebanggaan bagi keluarga gue apalagi,
gue masuk ke fakultas kedokteran yang terpandang dengan cara mendapatkan
beasiswa, di mana untuk masuk harus menyisihkan ribuan pendaftar. Setelah mampu
melewati tahapan itu, perjalanan sebagai mahasiswa kedokteran bisa di bilang
gampang-gampang susah. Banyaknya tugas yang harus dikerjakan dan kurikulumnya
yaitu problem based learning yang mengharuskan mahasiswanya lebih aktif dan
mencari bahan kuliah sendiri. Alih-alih jika mahasiswa tersebut lagi malas
untuk belajar maka kegagalan akan lebih dekat didepan mata.
Masih
menjadi anak koas saja terkadang masih ada pasien yang meragukan kemampuan gue,
gimana kalo sudah menjadi dokter. Tidak segan-segan ada pasien yang sok pintar
atau kebetulan pintar menguji gue sebagai seorang calon dokter. Biasanya dia
menguji ketepatan gue saat menensi darah, memberikan diagnosis, bahkan
terkadang mereka sampai mencampurkan bahasa inggris dengan bahasa Indonesia
saat berbicara (beruntung bukan pakai bahasa melayu atau dayak bisa berabe),
maksud hati mungkin untuk menguji gue mengerti atau tidak dengan bahasa yang
dia pakai kali ya, tapi kalo menurut gue pastinya ada unsur pamer apalagi kalo
ternyata gue kedapatan salah menjawab. Uh… pastinya suara tertawanya yang
nyaring akan membuat hidup loe menderita karena sudah menjadi korban
kemurkaannya kemudian disusul dengan berkurangnya ukuran postur tubuh loe dalam
waktu 1 detik.
Banyak
opini dari masyarakat mengatakan bahwa menjadi dokter itu bisa cepat kaya, iya
jika sudah menjadi dokter yang terkenal dan banyak pasien opini ini dapat
diberikan dua jempol dehh. Perlu mengorbankan waktu dan biaya yang sangat besar
untuk mendapatkan gelar sebagai dokter kemudian menjadi orang kaya.
Sebagai
seorang dokter banyak banget pengalaman hidup yang gue dapat. Pertama sebagai
dokter jika ditugaskan ke daerah harus tahu semuanya, mengapa? Di daerah dokter
di anggab sebagai dewa, dengan cacatan dewa adalah orang yang pintar dan tahu
segalanya, dari pertanyaan yang tidak penting seperti “perbedaan waktu antara
Indonesia dengan Cina berapa jam ya??” “Abraham lincon presiden Amerika Serikat
yang ke berapa??” Sambil memutar bola mata ke atas mencari jawabannya.
Kalo
ada permasalahan di desa gue diutus ama pak. RT untuk menyelesaikannya.. bisa
dibilang pekerjaan gue pagi-siang mengobati orang sakit, malam jadi kader-kader
desa, subuh tidur yang nyeyak di rumah. Haaaa…. Dengan ini gue jadi punya ide
untuk memberikan saran buat para pembuat kurikulum kedokteran agar dimasukkan
mata kuliah ilmu pengetahuan umum biar saat dapat pertanyaan kayak gue ini bisa
jawab dengan mantap.
Tanggung
jawab sebagai dokter sangat berat sekali, pada saat koas jika terjadi kesalahan
tidak akan di tuntut dan di bawa ke meja hijau, karena masih menyandang title
mahasiswa dan masih di bawah tanggung jawab dokter pembimbing atau biasanya
dokter spesialis. Tapi kalo sudah menjadi dokter, semua tanggung jawab ada di
tangan sendiri, hidup dan mati loe yang menentukan, mau menjadi dokter seperti
apa nantinya? salah mendiagnosa pasien sudah dikatakan malpraktek dan akhirnya
menyebabkan kamatian kemudian masuk penjara, benar mendiagnosa pasien, maka pasien
yang datang juga akan banyak dan secara otomatis income juga banyak, jadi bisa
dibilang ucapan dan tindakan loe sebagai dokter adalah masa depan loe.
“dokter kok sakit sih??”tanya si pasien yang
gue tangani
“Dokter
juga manusia kali bu” jawab gue dengan muka tersenyum tapi di dalam hati dongkol
banget.
Slogan
itu yang selalu gue pakai jika ternyata sistem imun gue lagi ngedrop dan harus
terpaksa menjadi orang sakit kemudian sembuh setelah itu mengalami flu dan
batuk yang sembuhnya berminggu-minggu. Jika sudah dalam keadaan ini gue
terpaksa harus memakai masker pada saat bekerja, karena gue tidak mau ada
korban berikutnya yang jatuh sakit karena gue, wajarkan pasien yang gue tangani
bisa memberikan pertanyaan seperti itu.